ilustrasi
Saya tertarik sebenarnya mencari tahu akhir-akhir ini, bagaimana sebenarnya hubungan dan kaitan Islam dan Negara. Kita juga mengetahui bahwa sebelum hadirnya fikrah-fikrah yang kita kenal hari ini, yang ingin menjadikan hukum di Indonesia menjadi hukum Islam tentunya dahulu juga ada para pendahulu kita.
Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia, dalam sidang-sidang BPUPKI permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara, dasar filsafat negara, dan hal-hal lainnya yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Sedari awal, benih-benih perdebatan ideology mulai muncul secara terbuka, pada tahun 1990 ketika terjadi polemic antara Soekarno (kelompok kaum nasionalis) dan Muhammad Natsir (kelompok kaum Islam) hubungan antara agama dan negara. Dan materi polemic itu sendiri sudah menampilkan masalah yang sama dengan materi yang muncul dalam perdebatan di BPUPKI dan konstituante mengenai dasar negara, antara “Nasionalis Sekuler atau Nasionalis Islam”.
Islam memberikan ruang yang luas bagi akal setiap muslim untuk berijtihad. Ajaran Islam yang tidak terpengaruh dengan perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam masalah-masalah aqidah dan beberapa masalah ibadah dan hukum perdata (seperti hukum waris) pada umumnya telah dijelaskan dengan sangat rinci dalam Alquran dan as-Sunnah. Sementara bagian-bagian dari ajaran Islam yang terpengaruh oleh perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam bidang muamalah, pada umumnya dibahas dengan cara menetapkan beberapa kaidah dasar tentang masalah tersebut, untuk kemudian diikuti proses ijtihad dalam kerangka kaidah dasar itu, dengan memproses penetapan hukumnya lewat persatuan ruang dan waktu.
Pembicaraan mengenai Islam dan Negara ini masih menjadi perdebatan (discourse) yang terus berkepanjangan di kalangan para ahli. Secara eksplisit dan implisit sebagian besar titik temu dari berbagai teori ini adalah negara tidak semata-mata karena kebutuhan lahiriah, tetapi juga untuk kebutuhan ruhaniyyah dan ukhrawiyah. Amien Rais (1994) menyatakan bahwa dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam ini setelah berakhirnya sistem kekhilafahan di Turki. Selama penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat berfikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas mengenai berbagai masalah.
Negara menurut Dr. Wahid Ra’fat adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu di belahan bumi ini yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur dan bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya dan kemaslahatan umum. Sedangkan Islam secara sederhana adalah seperangkat aturan atau sistem hidup manusia itu sendiri, yang umat Islam meyakini bahwa sistem ini adalah sistem yang baik, dan tepat. Sehingga secara perlahan kita bisa menemukan korelasinya, bahwa dalam menjalankan pemerintahan suatu negara kita membutuhkan seperangkat aturan yang itu adalah bisa menggunakan sistem Islam. Karena agama sebagai ajaran moral dan spiritual selalu menjanjikan pemeluknya untuk meraih kebahagiaan. Maka, sebagai ciri yang dimiliki agama adalah fungsinya yang bersifat universal. Artinya, agama menanamkan kebahagiaan dan kedamaian sesama manusia, dan penganugerahan kenikmatan yang tak terhingga, yaitu perjumpaan (liqa) dengan Tuhan. Sayangnya, tidak semua manusia menyadari fungsi agama ini. Bahkan di negara-negara Barat yang sekuler, agama dipisahkan dari pemerintahan (kenegaraan). Di satu sisi mungkin ada baiknya, namun di sisi lain lebih banyak ketimpangannya. Ketimpangan yang awalnya kecil, akan menjadi “bom waktu”. Rezim komunis di Rusia dan Eropa Timur misalnya, dengan ideologi komunisnya yang jelas-jelas menafikan agama, akhirnya pemerintahannya pun pupus oleh waktu.
Dalam hubungannya agama dengan negara, wacana seputar konsep negara Islam telah melahirkan kontroversi dan polarisasi intelektual di kalangan pemikir politik Islam. Apakah benar, misalnya Rasulullah pernah mendirikan atau menganjurkan negara Islam {Islamic state}, bukan negara suku (clannish state) seperti yang dikemukakan Ali Abdur Raziq. Apakah institusionalisasi Islam dalam bentuk negara merupakan kewajiban syariat ataukah semata-mata kebutuhan rasional seperti yang diteorikan Ibnu Khaldun? Tentang hubungan agama dan negara ada terdapat tiga kelompok pemikiran. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga kelompok. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekuasaan dan agama. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan negara yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama. Kepala negara karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.
Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip distribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.Negara ini sederhananya bisa dianggap sebagai washilah untuk mendekatkan manusia dengan Allah swt, sehingga kita boleh saja menggunakan keberagaman dalam bernegara ini, tetapi tidak menjadikan sebagai primadona sehingga ghayyat (tujuan) akhirnya menjadi bias. Proses menuju ghayyat itu adalah dengan penyampaian misi kebaikan misi langit yang disebut dengan dakwah. Anis Matta (2006) menyatakan bahwa tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT yang kemudian kita sebut agama, atau syariah dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal, karena itulah kita memiliki keinginan agar Islam sebagai sistem yang digunakan. Karena manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan kepribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik yang juga baru.
Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)
Hal yang sama dikemukakan oleh Amien Rais bahwa Dakwah dalam artian makro itu ekuivalen dengan social reconstruction, rekonstruksi sosial. Sosial dalam arti ekonomi, budaya, pendidikan, kemasyarakatan, dan segala macam proses rekonstruksi masyarakat yang multi-dimensional itu jatuhnya sama dengan dakwah itu. Maka dari itu, seorang muslim harusnya berkeyakinan bahwa politik merupakan bagian dari dakwah dan sebagai alat dakwah yang mensyaratkan aturan main dari dakwah seperti yang sudah disebutkan di atas. Hubungan politik dan dakwah sering tidak dimengerti dengan baik oleh sementara kaum muslimin sehingga banyak yang mengangap bahwa kegiatan dakwah tidak punya dampak positif. Bahkan dalam masyarakat kita ada kesan kurang positif terhadap kegiatan politik, seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hiprokasi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan konotasi buruk lainnya. Banyak anggapan yang salah berkembang di masyarakat, anggapan yang salah tersebut misalnya bahwa politik bersifat memecah belah sedangkan dakwah berusaha merangkul sebanyak mungkin umat, sehingga seolah-olah ada perbedaan antara hakikat politik dengan hakikat dakwah, sehingga berlaku suatu ungkapan apabila politik sampai memasuki suatu bidang kehidupan maka pasti rusaklah bidang kehidupan itu, bagi Amien persepsi politik seperti itu dinilai cukup berbahaya apabila ditinjau dari kacamata dakwah, pandangan politik ini juga merugikan, politik yang dijalankan seorang Muslim sekaligus sebagai alat dakwah tentu bukanlah politik sekuler melainkan politik yang penuh komitmen kepada Allah.
Gelombang Kehancuran terpampang jelas hari ini akan adidaya barat dengan sistem sekularisme yang mereka banggakan, hal ini menjadi bukti nyata bahwa Islam adalah pedoman purna dalam bagaimana seorang muslim menjalankan roda kehidupannya baik dalam konteks secara pribadi maupun secara sosial. Berbeda dengan peristiwa runtuhnya sistem sosial tauhid yang dibawa Islam, bahwa itu terjadi karena makar/perangai barat yang menghancurkannya, dan mereka mengganti dengan sesuatu yang mereka inginkan. Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa, hari ini sesuatu sistem yang diciptakan manusia itu akan menemui masanya, sehingga perlahan-lahan runtuh dengan sendirinya, dan hanya Islam, hanya sistem Islamlah yang pantas menggantikannya, karena sistem ini berasal dari langit, berasal dari pemilik seluruh alam semesta ini. Pola kepahaman yang seperti ini butuh kembali dihidupkan dalam diri dan dada setiap umat Islam, sehingga terbentuk unity of understanding, dari tiga pandangan mengenai Islam dan Negara. Kita meyakini bahwa Islam adalah sistem yang Allah ciptakan untuk menjaga keseimbangan dunia ini, dan sistem purna. Maka tugas kita hari ini adalah, bagaimana perlahan dan membina umat agar menyadari akan sistem yang purna ini, yang menjamin semua pemeluk agama, menjamin semua pemilik suku dan budaya dalam naungan keadilan, naungan kemakmuran, naungan kesejahteraan, karena itu adalah janji yang Allah swt telah janjikan kepada kita. (sb/dakwatuna.com)
Referensi:
- Alqur’an Cordova
- Anis Matta, 2006, Dari Gerakan ke Negara, Fitrah Rabba Press.
- Sayuti Pulungan, fiqh siyasah ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta PT. Raja Grafindon Persada, Cet.2 1995.
- Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media 1999
- M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Editor: Hamid Basyaib, Bandung; Mizan Cet. 5 1994 hlm.36
Komentar
Posting Komentar